Historyografi (Penulisan Sejarah) suatu bangsa merupakan kewajiban
dari bangsa itu sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati sejarahnya. Ilmu sejarah itu dinamis, tidak statis. Meskipun
kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan bisa berubah apabila
ditemukan bukti-bukti baru yang akurat. Tentu harus dengan kaidah
Historyografi, yaitu : ilmiah – berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur
tidak ada yang ditutupi dan netral terlepas dari kepentingan
politik/agama tertentu.
Untuk menulis sejarah tidak bisa hanya
dengan membaca buku-buku status quo, itu berarti merupakan
pengulangan/saduran saja. Juga tidak cukup dengan kajian tesis sejarah
dikampus dan seminar, tapi wajib riset di lapangan, observasi mencari
situs tersembunyi, ekskavasi situs, dan bila perlu melakukan forensik.
Historyografi
merupakan ilmu yang mulia. Bagi orang-orang beriman, bahkan Tuhan pun
menulis sejarah dalam kitab-kitab suci melalui Nabi-Nabi Nya, yaitu
Zabur, Taurat, Injil dan Al Quran. Sehingga, penulisan sejarah
tokoh-tokoh yang tidak disukai orang banyak pun harus ditulis secara
akurat. Tuhan menjadikan Namrud, Qarun, Firaun dan lainnya sebagai
monumen sejarah, agar menjadi pelajaran bagi manusia. Sejarah itu logis
dan bisa dibuktikan keasliannya.
Sejak JLA Brandes, NJ Krom, dan
JH Kern dari tahun 1902-1920 menulis sejarah bangsa kita, tentang
Majapahit dan Sriwijaya secara sudut pandang Barat (Modern), banyak
sejarahwan menulis puluhan buku tentang Majapahit. Namun tak ada satu
pun yang berhasil mengungkap jatidiri tokoh besar Majapahit, Mahapatih
Gajah Mada.
Sungguh aneh dan miris! Karena begitu besarnya nama
Gajah Mada, tapi tidak diketahui asal usulnya? Sehingga meimbulkan
spekulasi beberapa daerah yang mengklaim Gajah Mada berasal dari daerah
mereka, tanpa di dasari oleh fakta yang akurat.
Gajah Mada berasal dari Desa Mada
Hal
ini berbeda dengan folklore Mada (cerita rakyat Modo – Lamongan) yang
telah berabad-abad lamanya diwariskan secara turun temurun, dengan
detail menjelaskan jati diri Gajah Mada alias Jaka Mada (nama beliau
saat masih kecil, diasuh oleh petinggi desa Mada sejak bayi, dilahirkan
dari rahim Dewi Andong Sari-selir Raden Wijaya- ditengah hutan Cancing,
Ngimbang). Ketika kanak-kanak, Gajah Mada menjadi pengembala kerbau di
desanya, bersama teman-temannya, ia sering melihat iring-iringan tentara
Majapahit yang gagah-gagah sehingga timbul keinginan untuk menjadi
prajurit Majapahit. Sekian ratus tahun folklor itu terpendam, dan baru
budayawan Lamongan Viddy Ad Daery yang berani mengungkap dan mengangkat
hal itu di forum nasional maupun Internasional, meski dengan resiko
dikritik dan dicaci-maki oleh orang-orang yang picik visinya.
Perlu
diketahui bahwa folklore Mada (Lamongan) terkait dengan folklor
Badander (Jombang). Badander adalah desa kuno yang disebut oleh
manuskrip kitab-kitab kuno sebagai tempat Gajah Mada menyembunyikan
Prabu Jayanegara dari kejaran tentara pemberontak Ra Kuti. Desa Mada
(Modo) dan desa Badander merupakan basis Gajah Mada (banyak teman masa
kecilnya), dan letaknya tidak terlalu jauh dari ibukota Majapahit –
Trowulan.
Ketika menginjak usia remaja, Jaka Mada diajak oleh
kakek angkatnya yang bernama Ki Gede Sidowayah ke Songgoriti, Malang.
Dari Malang itulah Jaka Mada meniti karier sebagai prajurit Majapahit,
yang kelak beliau dikenal dengan nama Gajah Mada (Orang besar dari desa
Mada). Berdasarkan folklore ini diduga Gajah Mada memang berasal dari
desas Mada (Modo), Lamongan-Jawa Timur.
Namun folklore ini masih
harus diperkuat dengan fakta akurat lainnya, tidak cukup hanya didukung
oleh situs berupa Makam Ibunda Gajah Mada – Dewi Andong Sari.
Baru-baru
ini tim riset Yamasta yang terdiri dari Viddy Ad Daery, Sufyan Al Jawi,
dan Drs. Mat Rais telah menemukan fakta-fakta awal seputar asal usul
Gajah Mada (baca berita Kompas.com = Budayawan Temukan Situs Makam
Kerabat Gajah Mada). Pencantuman nama para peneliti merupakan tanggung
jawab ilmiah, bukan cari popularitas ! Karena apabila hasil riset
tersebut ternyata keliru, maka tim yang bersangkutan harus bertanggung
jawab secara moril dengan pers rilis dan penelitian ulang.
Meluruskan Penulisan Sejarah
Sebagai
arkeolog dan numismatis, sejak 1994 saya terbiasa meriset / menelaah
sejarah dengan metode : Asli atau Palsu, untuk membedakan mana yang
jurnal (catatan) sejarah, mana yang opini sejarah, dan mana yang sekedar
mitos (dongeng). Komitmen kami yang bertajuk : Gajah Mada Bangkit
Nusantara Berjaya, merupakan tanggung jawab besar. Maka niat lurus,
kejujuran, netralitas dan akurasi fakta menjadi kewajiban kami.
Metode
riset kami tidak hanya membahas sastra berupa manuskrip kuno dan
folklore saja. Bukan sekedar bongkar pasang benang merah benda purbakala
! Tapi dilengkapi dengan metode forensik fisik, baik itu terhadap benda
purbakala, maupun terhadap sisa-sisa jenazah (bila ditemukan) untuk
memastikan usia kematian, dan rekontruksi wajah dari tokoh tersebut.
Mirip seperti riset terhadap Mummy Firaun. Dan membutuhkan biaya yang
cukup besar.
Selama ini buku-buku sejarah status quo banyak
menyembunyikan fakta, hingga pengaburan tokoh-tokoh pelaku sejarah besar
bangsa ini. Historyografi yang akurat justru menimbulkan dampak buruk
bagi anak bangsa. Misalnya : Peristiwa Perang Bubat, yang dieksploitasi
oleh sejarawan kolonial Belanda memicu ketidak sukaan Suku Sunda
terhadap Suku Jawa hingga hari ini. Begitu pula Peristiwa penyatuan
Nusantara, yang dipelintir menjadi agresi Suku Jawa terhadap Suku-suku
lain, padahal tidak ada satu negeripun yang dijajah oleh Majapahit. Dan
peristiwa Islamnya penduduk Majapahit yang dipelintir menjadi
‘pengkhianatan’ Walisongo terhadap Majapahit memicu ketidak sukaan kaum
kejawen (kolot) terhadap ajaran Islam. Padahal sesungguhnya kaum kejawen
ini ya Islam juga, tapi merupakan tinggalan “Islam Purba” zaman Nabi
Sis, Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim sewaktu mereka di Nusantara ( teori dari
Kelompok Ilmuwan Turangga Seta ). Maka,Nabi Muhammad Rasulullah memang
menyatakan diri “diutus menyempurnakan Islam”, bukan bikin agama baru!!!
Ironisnya
buku sejarah yang tidak netral ini terus menerus di produksi dan mudah
di jumpai di toko buku, perpustakaan, bahkan menjadi buku pengajaran di
sekolah dan kampus. Sehingga dapat melahirkan generasi sinisme dan
pemuja perpecahan. Maka wajar jika saat ini Nusantara terpuruk ! Tolong
pikirkan, siapa yang berkeinginan agar bangsa asli pribumi Nusantara
terpecah belah dan terpuruk terus menerus ???? Anehnya banyak orang yang
menikmati dan tidak rela bila buku sejarah status quo direvisi, padahal
buku sejarah bukanlah kitab suci!
Coba kita perhatikan fakta-fakta berikut ini:
Celengan
kuno, berbentuk patung kepala terbuat dari tembikar yang dulu populer
dibuat, diperjualbelikan oleh penduduk Majapahit sebagai tabungan koin
cash tembaga (koin Cina), kemudian hari oleh sejarawan diklaim sebagai
potret / gambaran wajah Gajah Mada ?
Lukisan rekayasa Gajah Mada oleh
Moh. Yamin yang mirip dengan wajah beliau. Lalu timbul spekulasi bahwa
Gajah Mada berasal dari Minangkabau?
Karena ditemukannya beberapa
Prasasti di aliran Sungai Berantas yang menyebut nama Gajah Mada, maka
ada spekulasi bahwa Gajah Mada lahir di Malang. Padahal pencatuman nama
pejabat pada Prasasti merupakan hal yang wajar. Seperti Prasasti Tugu
yang mencantumkan nama Raja Tarumanegara, bukan berarti sang Prabu lahir
di Tugu Cilincing Jakarta Utara ? Lagi pula tidak ada folklore Malang
yang berkaitan dengan Gajah Mada.
Bahkan ada spekulasi radikal dari
Bali (Kitab Usana Jawa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada lahir dari buah
kelapa yang pecah. Mirip dongeng Sun Go Kong (kera sakti) yang lahir
dari batu.
Untuk mematahkan riset dan ingin membungkam sejarah,
ada pihak yang ngotot bila Gajah Mada bukan dari desa Mada dan telah
dibakar menjadi abu. Katanya Gajah Mada telah dicandikan (mana ada Sudra
dicandikan ?), Mungkin maksud mereka adalah candi yang diresmikan oleh
Gajah Mada ? Toh ketika Gayatri Rajapatni wafat, beliau yang notabene
beragama Budha, di Hindukan oleh masyarakat Majapahit lewat pembuatan
patung dan dicandikan. Kalaupun ternyata hasil riset membuktikan bahwa
Gajah Mada telah jadi abu, tidak ada kerugian apapun bagi tim riset.
Menemukan Situs Purbakala yang Belum Terungkap
Tim Riset Yamasta berhasil menemukan situs-situs purbakala yang belum terungkap, seperti :
1. Situs Makam kerabat Gajah Mada di desa Modo
2. Situs Sendang dan tempat mandi Gajah Mada di desa Modo
3.
Situs Prasasti Gondang di Sugio, Prasasti zaman Airlangga yang ditulis
dengan huruf Arab Pegon (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Sebelas tahn
yang lalu, tulisan masih bisa terbaca. Karena terbengkalai, kena sinar
Matahari dan hujan, maka tulisan menjadi hilang. Namun secara
samar-samar bisa terlihat tulisannya saat terkena blitz cahaya tertentu.
4.
Situs dusun Lukman Hakim (Lukrejo) di Kalitengah, Lamongan. Sebuah
dusun yang disebut dalam Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan terbit
1416-1433. Dusun (kota baru ?) letaknya dekat dengan Bengawan Solo,
aliran Bengawan Jero (Sungai Purbakala). Dusun ini memiliki pertahanan
Parit Andalusia (Parit air yang mengitari dusun, lebarnya 8-10 m,
dibentengi dengan pagar hidup pohon bambu). Pintu keluar masuk hanya
satu, 3 (tiga) pos jaga, dibangun dan dihuni oleh 3 (tiga) golongan,
yaitu : Muslim Jawa, Cina suku Tang Muslim dan Hindu Budha Jawa.
5. Situs Bawanmati di Pringgoboyo, lokasi tambangan kapal-kapal asing dan Bea Cukai Majapahit (No.1-5 berada di Lamongan).
6. Situs Pagar Banon di desa Badander, Jombang.
Semua
situs tersebut diduga merupakan benang merah asal usul Gajah Mada yang
harus diungkapa secara ilmiah dengan teliti dan hati-hati. Apapun hasil
riset yang ditemukan, masih harus diuji dan dipresentasikan dengan
lapang dada. Ojo dumeh (jangan mentang-mentang). (SF)
*)Arkeolog di Numismatik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar