Menyusul penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Pemilihan
Umum (pemilu) 2014, ditetapkan hanya 10 parpol berhak mengikuti Pemilu
2014. Ketetapan ini secara langsung membawa dampak pada sejumlah partai
politik (parpol) yang langsung memulai tahap rekrutmen bakal calon
legislator. Hingga tiga bulan ke depan, para kader populer dari parpol
tak lolos verifikasi yang berpotensi menjadi vote gater di daerah
berpindah parpol.
Kesiapan parpol untuk memenangkan kompetisi
menampilkan kandidat terbaik dari masing-masing partai, diantaranya dari
Golkar Abu Rizal Bakrie, demokrat diusungnya Anas Urbaningrum, Andi
Malarangeng, Jero Wacik, PDIP adanya kader-kader muda seperti Maruarar
Sirait, Pramono Anung, serta yang mewarisi kharisma politik keluarga
Puan Maharani, dari PKS beberapa tokoh senior seperti Nur Mahmudi,
Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, maupun Salim Segaf.
Bahkan
dari kalangan non Partai seperi Fajrul Rahman dan Rizal Ramli pun
disebut-sebut mempersipakan diri. Tak kalah menarik, adanya Nasional
Demokrat yang mengusung nama Surya Paloh. Pemberitaan berkaitan dengan
Sri Mulyani, Dahlan Iskan dan Mahfud MD yang siap bersaing dengan
kandidat lainnya ikut pula menghiasi media di negeri ini.
Daya
magnet yang ditawarkan masing-masing kandidatpun beraneka ragam. Dari
yang jauh sebelum ketetapan KPU terkait partainya yang baru seumur
jagung sudah mengebu-gebu melakukan sosialisasi, ada yang sudah
mendeklarasikan diri seperti Abu Rizal Bakrie. Dalam Rapat Pimpinan
Nasional (Rapimnas) Partai Golkar telah ditetapkan dirinya sebagai calon
tunggal Presiden RI 2014.
Penulis akui, untuk meraih simpatik
dari rakyat tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan yang keras. Jalan
terjalal diperparah dengan adanya peningkatan jumlah pemilih yang naik
signifikan, sekitar 20,4 juta pemilih dari Pemilu 2009.
Namun,
sangat disayangkan mereka yang menjabat pejabat publik justru
ikut-ikutan memanfaatkan peluang tersebut demi sebuah pencitraan. Di era
media yang terbuka seperti sekarang, banyak tokoh politik yang
mendesain sedemikian rupa setiap langkahnya agar—selain menjalankan
tugas—juga bisa dilihat publik luas.
Tujuannya agar ke depannya
ia akan berpeluang dipilih atau dipinang kekuatan politik. Tak ada
tujuan lebih dari itu. Lihat berapa kali Dahlan Iskan mengamuk di tol,
bandara, pelabuhan dan lain-lain. Pada hal kinerja BUMN tak lebih
baik. Merujuk data dari hasil pemeriksaan semester I/2012, BPK
menyebutkan, terdapat 63 kasus yang terjadi di lingkungan perusahaan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan potensi kerugian negara yang
diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.
Dalam pernyataanya Ketua
BPK Hadi Poernomo menyebutkan, Kasus tersebut antara lain kekurangan
penerimaan yang berasal dari koreksi perhitungan bagi hasil dengan KKKS
sebanyak 24 kasus senilai Rp 487,93 miliar. Sisanya sebanyak 9.129
kasus dengan nilai sebesar Rp 3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan
administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan,
serta kelemahan sistim pengendalian intern.
Pemberitaan terkait
musibah yang menimpah salah satu mantan petinggi PLN ini saat
mengendarai Ferari Listrik di kawasan Plaosan, Magetan, Jawa Timur
Sabtu, 5 Januari 2013, dengan kondisi mobil rusak parah, menjadikan
pertanyaan besar bagi penulis.
Kecelakaan ini dimuarai keberanian
Dahlan yang terlalu berlebihan dengan mengendari mobil dala setatus uji
coba tersebut. Dengan dalil demi riset dan pengembangan mobil listrik
ia bertekad mengujinya dengan menyetir sendiri hingga 1000 kilometer.
Seyogyanya pengujian dilakukan di balai pengujian kendaraan bermotor
yang sudah ditetapkan. Selain itu,setiap kendaraan yang dipakai di jalan
raya seharusnya telah melalui uji kelayakan oleh Kementerian
Perhubungan. Tujuannya agar standarisasi produk dan uji produk teknologi
otomotif tetap terjaga keabsahannya. Kenyataan ini diperparah dengan
penggunaan plat yang ternyata palsu.
Diberitakan, sistem rem yang
dimiliki mobil tersebut tidak berfungsi dengan baik menyebabkan mobil
berwarna merah seharga miliaran rupiah itu yang dikendarainya rusak
berat. Pernyataan berbeda justru disampaikan pencipta Tucuxi Danet
Suryatama kepada media. Dirinya memaparkan tindakan yang berlebihan pada
pembongkaran dengan dalih penyempurnaan yang dilakukan oleh tim Dahlan
Iskan yang dikomandoi keponakannya.
Dampaknya membawa perubahan
system kendaraan mulai dari rem, dua airbag (pengemudi dan penumpang),
power steering, battery system dan battery monitoring system serta
lainnya.
Kisah lainnya sikap PKS selama ini yang membingungkan.
Keberadaan PKS di barisan koalisi pun penulis pertanyakan, terkesan
selama ini, PKS bagaikan partai oposisi yang berada didalam barisan
partai koalisi. Alasan PKS, melakukan penolakan dan tidak sejalah dengan
pemerintah menunjukan partai ini lebih mengutamakan pencitraan
partainya dalam menarik simpatik dibandingkan harus mematuhi kesepakatan
koalisi. Partai ini terkesan hanya mencari kepentingan partai semata
dengan melakukan pencitraan disetiap kebijakan pemerintah, tanpa
memperdulikan kesepakatan yang ada di dalam koalisi itu sendiri.
Lihat
juga bagaimana Mahfud MD yang doyan melontarkan pernyataan, layaknya
politisi, padahal ia ketua lembaga sakral seperti MK, setiap
pernyataannya dapat menjadi kekuatan hukum. Menteri Sekretaris Negara
Sudi Silalahi pernah menyampaikan keberatan atas pernyataan sikap ketua
MK. Sudi sangat berkeberatan dan merasa terhina atas pernyataan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menuding mafia narkoba sudah masuk
ke lingkaran Istana.
Bahkan purnawirawan bintang tiga TNI ini,
meminta Mahfud untuk menjelaskan pernyataan tersebut kepada dirinya dan
Presiden, dengan disertai bukti-bukti dan keterangan lain yang
mendukung.
Penulis akui, setelah bergulirnya angin reformasi yang
ditandai dengan keterbukaan untuk mendapatkan informasi dan kebebasan
berpendapat menjadikan demokrasi dinegeri ini berjalan. Sangat
disayangkan oleh penulis langkah yang ditempuh oleh mereka yang bernaung
dibawah pemerintahan justru terkesan memilih caranya sendiri dalam
meraih dukungan.
Realitas ini, justru membuat publik dibuat
bingung dengan berbagai langkah tokoh dan parpol seperti di atas. Di
negara maju, era sensasi sudah lewat. Digantikan pejabat yang mampu
menghasilkan kebijakan tepat dan nyata, tanpa publikasi sensasional
berlebih. Itu juga yang harus terjadi di sini. Sudah sepatutnya
profesinalitas ditanamkan dalam diri masing-masing pejabat publik. Agar
kinerja tetap terpelihara, rakyat tidak dijadikan komoditas kepentingan
politik sesaat.